Makalah Negara Aturan Yang Sanggup Dikatakan Demokratis? Why?


MAKALAH



NEGARA HUKUM YANG DEMOKRATIS”

logo fakultas aturan muhammadiyah Palembang makalah negara aturan yang sanggup dikatakan demokratis? why?

 



Di susun oleh :
NAMA                     : ROSUL PADRI
NIM                         : 50 2014 431
MATA KULIAH    :  KAPSEL HTN





FAKULTAS HUKUM


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG


2017



KATA PENGANTAR


Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan YME bahwa penyusunan makalah yang berjudul Negara Hukum yang demokratis dapat kami selesaikan dengan baik. Adapun penyelesaian makalah berdasarkan kiprah mata kuliah kapsel HTN yang di bimbing oleh bapak atau ibu selaku dosen mata kuliah tersebut. Kami mengucapkan terimakasih atas kiprah dan kerja keras tim penyusun dalam penyelesaian ini. Tak lupa kami mengharapkan masukan yang berupa kritik atau saran. Semoga makalah ini bermanfaat.








Palembang,  Desember 2017

                          
     
                               
Rosul Padri 
        




DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL......................................................................................................... i
KATA PENGANTAR...................................................................................................... iii
DAFTAR ISI..................................................................................................................... iv
BAB I        PENDAHULUAN
1.1                       LATAR BELAKANG MASALAH……………………………. 1
1.2                       PERUMUSAN MASALAH……………………………………. 2
1.3                       TUJUAN PENULISAN………………………………………… 2
BAB II       PEMBAHASAN
2.1                       Pengertian Negara Hukum……………………………………… 3
2.2            Ciri-ciri Negara Hukum………………………………………….4
2.3                       Prinsip-Prinsip Negara Hukum………………………………….6
BAB III      PENUTUP
                    3.1            Kesimpulan………………………………………………………..16
                    3.2            Saran………………………………………………………………16
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………..v





  

BAB 1

PENDAHULUAN

1.4  LATAR BELAKANG MASALAH

Salah satu prinsip dasar yang mendapatkan penegasan dalam perubahan Undang-Undang Dasar 1945 ialah prinsip negara hukum, sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa ‘Negara Indonesia ialah negara hukum’. Bahkan secara historis negara aturan (Rechtsstaat) ialah negara yang diidealkan oleh para pendiri bangsa sebagaimana dituangkan dalam klarifikasi umum Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan wacana sistem pemerintahan negara yang menyatakan bahwa Negara Indonesia berdasar atas aturan (rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat).
Prinsip-prinsip negara aturan senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta semakin kompleksnya kehidupan masyarakat di kala global, menuntut pengembangan prinsip-prinsip negara hukum.
Demokrasi sebagai dasar hidup berbangsa pada umumnya memperlihatkan pengertian bahwa adanya kesempatan bagi rakyat untuk ikut memperlihatkan ketentuan dalam masalah-masalah pokok yang mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijakan pemerintah, oleh lantaran kebijakan tersebut memilih kehidupannya. Dengan kata lain dalam suatu negara demokrasi terdapat kebebasan-kebebasan masyarakat untuk berpartisipasi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Dengan terlibatnya masyarakat dalam penentuan kebijakan publik merupakan pencerminan suatu negara merupakan negara yang menganut aturan dan demokrasi yang berjalan seiring dan saling melengkapi. Negara sebagai organisasi masyarakat yang mempunyai tujuan ideal yang ingin dicapai tidak akan mengkesempingkan perananan masyarakat dalam merumuskan dan mengimplementasikan tujuan bersama tersebut.
Negara yang berhasil menerapkan demokrasi ialah negara yang bisa memelihara keseimbangan antara kebebasan, penegakan hukum, pemerataan pendidikan dan perbaikan ekonomi. Dari empat sokongan itu, keseimbangan antara kebebasan dan penegakan aturan akan memperkuat dua pilar berikutnya. Diperlukan upaya meningkatkan kiprah dan kualitas demokrasi dari tingkat prosedural ke level substansial.
Oleh lantaran itu, berdasarkan latar belakang tersebut, maka sanggup dirumuskan permasalahan wacana bagaimanakah kekerabatan antara negara aturan dan demokrasi.

1.5  PERUMUSAN MASALAH

1.      Apa pengertian negara aturan ?
2.      Bagaimana kekerabatan antara negara aturan dan demokrasi ?
3.      Bagaimana ciri-ciri negara aturan ?
4.      Apa prinsip-prinsip negara aturan ?

1.6  TUJUAN PENULISAN
Makalah ini di buat untuk memenuhi salah satu kiprah pada mata kuliah  KAPSEL HTN dan ingin lebih mengetahui dan mengkaji wacana  hukum dan demokrasi serta untuk mengetahui kekerabatan negara aturan yang demokratis.


 
  
BAB II
PEMBAHASAN

2.2  Pengertian Negara Hukum

Di zaman modern, konsep Negara Hukum di Eropah Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan memakai istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat’. Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep Negara aturan dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan “The Rule of Law”. Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu meliputi empat elemen penting, yaitu:
  1. Perlindungan hak asasi manusia.
  2. Pembagian kekuasaan.
  3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang.
  4. Peradilan tata perjuangan Negara.
Secara sederhana yang dimaksud negara aturan ialah negara yang penyeleggaraan kekuasaan pemerintahannya didasarkan atas hukum. Di dalamnya negara dan lembaga-lembaga lain dalam melaksanakan tindakan apapun harus dilandasi oleh aturan dan sanggup dipertanggung jawabkan  secara hukum. Dalam negara hukum, kekuasaan menjalankan pemerintahan berdasarkan kedaulatan aturan (supremasi hukum) dan bertujuan untuk menyelenggarakan ketertiban hukum. (Mustafa Kamal Pasha,2003).
Negara berdasar atas aturan menempatkan aturan sebagai hal yang tertinggi (supreme) sehingga ada istilah supremasi hukum. Supremasi aturan harus dihentikan mengabaikan tiga dasar hukum, yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian. Oleh kesudahannya negar dalam melaksakan aturan harus memperhatikan tiga hal tersebut. Dengan demikian aturan tidak hanya sekedar formalitas atau mekanisme belaka darikekuasaan.  Apabila negara berdasarkan aturan maka pemerintahan negara itu harus berdasar atas suatu konstitusi atau undang-undang dasar sebagai landasan penyelenggaraan pemerintahan. Konstitusi negara merupakan sarana pemersatu bangsa. Hubungan antar warga negara dengan negara, kekerabatan anatar lembaga negar dan kinerja masing-masing elemen kekuasaan berada pada satu sistem aturan yang disepakati dan dijunjung tinggi.

2.2  Ciri-ciri Negara Hukum

Friedrich Julius Stahl dari kalangan jago aturan Eropa Kontinental memperlihatkan ciri-ciri Rechtsstaat sebagai berikut.
  1. Hak asasi manusia
  2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak asasai insan yang biasa dikenal sebagai Trias Politika
  3. Pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan.
  4. Peradilan manajemen dalam perselisihan.
Adapun AV Dicey dari kalangan jago aturan Anglo Saxon memperlihatkan ciri-ciri Rule of Law sebagai berikut.
  1. Supremasi hukum, dalam arti dihentikan ada kesewenang-wenangan sehingga seseorang hanya boleh dieksekusi kalau melanggar hukum.
  2. Kedudukan yang sama di depan hukum, baik bagi rakyat biasa maupun bagi pejabat.
  3. Terjaminnya hak-hak insan dalam undang-undang atau keputusan pengadilan.
Di samping perumusan ciri-ciri negara aturan ibarat di atas, ada pula banyak sekali pendapat mengenai ciri-ciri negara aturan yang dikemukakan oleh para ahli. Menurut Montesquieu, negara yang paling baik ialah negara hukum, alasannya ialah di dalam konstitusi di banyak negara terkandung tiga inti pokok, yaitu
  1. Perlindungan HAM
  2. Ditetapkannya ketatanegaraan suatu negara, dan
  3. Membatasi kekuasaan dan wewenang organ-organ negara.
Mustafa Kamal Pasha (2003) menyatakan adanya tiga ciri-ciri khas negara hukum, yaitu
  1. Pengakuan dan proteksi terhadap HAM
  2. Peradilan yang bebas dari imbas kekuasaan lain dan tidak memihak.
  3. Legalitas dalam arti aturan dalam segala bentuknya.
Menurut Prof. DR. Sudargo Gautama, SH. mengemukakan 3 ciri-ciri atau unsur-unsur dari negara hukum, yakni:
  1. Terdapat pembatasan kekuasaan negara terhadap perorangan, maksudnya negara tidak sanggup bertindak sewenang-wenang. Tindakan negara dibatasi oleh hukum, individual mempunyai hak terhadap negara atau rakyat mempunyai hak terhadap penguasa.
  2. Azas Legalitas
Setiap tindakan negara harus berdasarkan aturan yang telah diadakan terlebih dahulu yang harus ditaati juga oleh pemerintah atau aparaturnya.
  1.  Pemisahan Kekuasaan
Agar hak-hak azasi itu betul-betul terlindung ialah dengan pemisahan kekuasaan yaitu tubuh yang menciptakan peraturan perundang-undangan, melaksanakan dan mengadili harus terpisah satu sama lain tidak berada dalam satu tangan.

2.4      Prinsip-Prinsip Negara Hukum

Menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH ada dua belas ciri penting dari negara aturan diantaranya ialah : supremasi hukum, persamaan dalam hukum, asas legalitas, pembatasan kekuasaan, organ administrator yang independent, peradilan bebas dan tidak memihak. peradilan tata perjuangan negara, peradilan tata negara, proteksi hak asasi manusia, bersifat demokratis, sarana untuk mewujudkan tujuan negara, dan transparansi dan kontrol sosial.
1. Tujuan Negara Hukum
Seperti kita ketahui bahwa kasus negara aturan pada hakikatnya tidak lain daripada problem wacana kekuasaan. Ada dua pusat kekuasaan. Di satu pihak terdapat negara dengan kekuasaan yang menjadi syarat mutlak untuk sanggup memerintah. Di lain pihak nampak rakyat yang diperintah segan melepaskan segala kekuasaannya. Kita menyaksikan bahwa apabila penguasa di suatu negara hanya bertujuan untuk memperoleh kekuasaan sebesar-besarnya tanpa menghiraukan kebebasan rakyatnya, maka lenyaplah negara hukum. Dengan demikian nyatalah betapa penting tujuan suatu negara dalam kaitannya dengan problem kita.
Menurut Van Apeldoorn tujuan aturan ialah mengatur tata tertib masyarakat secara tenang dan adil. Perdamaian diantara insan dipertahankan oleh aturan dengan melindungi kepentingan-kepentingan insan tertentu, kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta dan sebagainya terhadap yang merugikannya. Kepentingan dari perorangan dan kepentingan golongan insan selalu bertentangan satu sama lain. Pertentangan kepentingan selalu menjadikan pertikaian. Bahkan peperangan antara semua orang melawan semua orang, kalau aturan tidak bertindak sebagai mediator untuk mempertahankan kedamaian. Hukum mempertahankan perdamaian dengan menimbang kepentingan yang bertentangan secara teliti dan mengadakan keseimbangan diantaranya lantaran aturan hanya sanggup mencapai tujuan (mengatur pergaulan hidup secara damai) kalau ia menuju peraturan yang adil. Artinya, peraturan yang mengandung keseimbangan antara kepentingan-kepentingan yang dilindungi sehingga setiap orang memperoleh sebanyak mungkin yang menjadi bagiannya.
Menurut Montesqueu, negara yang paling baik ialah negara hukum, alasannya ialah di dalam konstitusi di banyak negara mempunyai tiga inti pokok yaitu:
1.      Perlindungan HAM
2.      Ditetapkannya ketatanegaraan suatu negara
3.      Membatasi kekuasaan dan wewenang organ-organ negara.
Disamping itu salah satu tujuan aturan ialah memperoleh setinggi-tingginya kepastian hukum  (rechtzeker heid). Kepastian aturan menjadi makin dianggap penting bila dikaitkan dengan aliran negara berdasar atas hukum. Telah menjadi pengetahuan klasik dalam ilmu aturan bahwa aturan tertulis dipandang lebih menjamin kepastian aturan dibandingkan dengan aturan tidak tertulis.
Negara  Indonesia  sudah  menjadi  negara  hukum  yang  demokratis.  Langkah pertama  untuk  membuktikan  bahwa  jawaban  ini  beralasan  adalah  mencari  kriteria wacana negara aturan yang demokratis.
Menurut Konperensi The International  Commision  of Yurist   di Bangkok pada
1965,  dikemukakan   syarat-syarat  dasar  yang  harus  dipenuhi  oleh  Representative
Government Under The Rule of Law (Negara aturan yang demokratis) adalah:
1.   Adanya proteksi konstitusional.
Proteksi konstitusional ialah adanya proteksi dari negara kepada rakyatnya mengenai  hak-hak asasi manusia  secara  konstitusional.  Hal ini termasuk  adanya
jaminan dalam hukum, cara memperoleh proteksi tersebut.
2.   Adanya lembaga pengadilan yang bebas dan tidak memihak.
Lembaga pengadilan yang bebas dan tidak memihak ialah adanya lembaga kehakiman yang mandiri, dan di dalam melaksanakan proses peradilan tidak akan mendapatkan imbas dari mana pun dan dihentikan memihak kepada siapa pun, termasuk kepada penguasa.
3.   Adanya pemilihan umum yang bebas.
Pemilihan  umum  yang  bebas  adalah  terselenggaranya  pemilihan  umum  dengan tanpa adanya paksaan dan pementingan kepada rakyat yang melaksanakan hak pilihnya.
4.   Adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat.
Kebebasan menyatakan  pendapat  adalah rakyat  berhak dan memperoleh  jaminan dalam  hukum  untuk  dapat  mengeluarkan  pendapat  baik  secara  tertulis  maupun lisan, baik sendiri maupun bersama-sama.
5.   Adanya kebebasan berserikat dan melaksanakan oposisi.
Kebebasan berserikat dan melaksanakan oposisi ialah adanya jaminan dalam aturan bagi  rakyat  untuk  mendirikan  perserikatan  atau  partai  politik  yang  didirikan tersebut,  dan rakyat  mempunyai  kebebasan  melakukan  oposisi  atau  kritik  yang membangun  baik  melalui  wakil  rakyatnya  (dalam  forum  lembaga  perwakilan rakyat) maupun tidak, asalkan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
6.   Adanya pendidikan civic.
Pendidikan civic ialah dilakukannya  pendidikan kewarganegaraan  kepada rakyat, sehingga  rakyat  dapat  mengetahui  dan mengerti  hak apa saja yang dimiliki dan kewajiban   apa  saja   yang  harus  dilakukan  berdasarkan   peraturan  perundang- seruan yang berlaku (Toto Pandoyo, 1983: 98)
Berdasarkan beberapa kriteria tersebut di atas, kami akan mengurai satu per satu kreteria  yang  dapat  dipakai  sebagai  alasan  bahwa  hipotesa  kami  yaitu  secara  formal Indonesia  sudah menjadi  negara  hukum  yang demokratis,  adalah benar.  Namun,  secara meteriil masih perlu didiskusikan.
Adanya proteksi konstitusional
Kalau kita membaca Undang-Undang Dasar 1945 sebelum diamandemen pada 2000, di sana hanya ada tujuh butir ketentuan yang mengatur wacana HAM, yaitu pasal 27 ayat (1), Pasal 27
ayat (2), Pasal 28, Pasal 29 ayat (2), Pasal 30 ayat (1), Pasal 31 ayat (1), dan pasal 34.
Pasal-pasal tersebut kalau diperhatikan dengan sungguh-sungguh, hanya satu ketentuan saja yang memang benar-benar memperlihatkan jaminan konstitusional atas HAM, yaitu Pasal 29 ayat (2) yang menyatakan, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat berdasarkan agamanya dan kepercayaannya itu”. Sedangkan ketentuan-ketentuan yang lain, sama sekali bukanlah rumusan  tentang  HAM  atau  human  rights,  melainkan  hanya  ketentuan  mengenai  hak warga  negara atau  the citizens’  rights.  Jika jumlah pasal  yang mengatur  tentang  HAM antara  sebelum  UUD  1945  diamandemen  dan sesudah  UUD  1945  diamandemen  tentu sangat jauh beda jumlahnya. Hal demikian ini lantaran sejarahnya.
Adanya lembaga pengadilan yang bebas dan tidak memihak
Pasal 1 UU Nomor  14 Tahun 1970  tentang  Ketentuan-ketentuan  Pokok Kekuasaan Kehakiman  menyatakan   bahwa “Kekuasaan  kehakiman  adalah kekuasaan  Negara  yang merdeka  untuk  menyelenggarakan   peradilan  guna  menegakkan   hukum  dan  keadilan
berdasarkan   Pancasila,   demi  terselenggaranya   Negara   Hukum   Republik   Indonesia’.
Penjelasan  pasal tersebut menyatakan  bahwa  “Kekuasaan  Kehakiman  yang merdeka  ini mengandung pengertian didalamnya kekuasaan Kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak kekuasaan negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang tiba dari pihak ekstra yudicial, kecuali dalam hal-hal yang diijinkan oleh undang- undang.  Kebebasan  dalam  melaksanakan  wewenang  judicial  tidaklah  mutlak  sifatnya, karena  tugas  dari   Hakim  adalah  untuk  menegakkan  hukum  dan keadilan  berdasarkan Pancasila dengan jalan menafsirkan aturan dan mencari dasar-dasar serta azas-azas yang jadi   landasannya,    melalui   perkara-perkara    yang   dihadapkan   kepadanya,   sehingga keputusan  mencerminkan   perasaan  keadilan  bangsa  dan  rakyat  Indonesia”.   UU  ini merupakan  pelaksanaan  dari  Pasal  24  UUD  1945,  dibuat  pada  masa  Orde  Baru  , diundangkan pada 17 Desember 1970 yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto.
Kebebasan lembaga peradilan dari campur tangan dan intervensi kekuatan di luarnya merupakan kasus yang sangat esensial dalam penegakan hukum. Kalau kita membaca Pasal 1  UU Nomor  14 Tahun  1970,  maka  kita  akan percaya  bahwa  hakim  pasti akan menegakkan aturan dan keadilan. Namun kenyataannya, selama Orde Baru jaminan Undang-Undang Dasar dan undang-undang atas kekuasaan kehakiman yang merdeka, tidak sanggup berjalan sebagaimana   mestinya.   Dalam   berbagai   perkara   yang   berkaitan   dengan   eksistensi, kebijakan atau kewibawaan kekuasaan, majelis hakim bukan saja dituntut bertindak hati- hati, tetapi adakalanya wajib mengikuti kehendak yang berkuasa.
Di suatu tempat di Jawa Barat, seorang pelajar di hadapkan ke pengadilan pidana, hanya lantaran ada yang mendengar pelajar tersebut sambil bermain dengan kawan-kawannya mengomentari gubernur yang sedang berkampanye. Dalam menilik perkara-perkara somasi PDI pimpinan Megawati, pengadilan mendapatkan pesan bahkan instruksi semoga tidak memberi  peluang  beracara  apalagi  memenangkan   gugatannya.   Kekuasaan   menjelma menjadi sesuatu yang tidak pernah sanggup bersalah apalagi dipersalahkan. Kelompok “Petisi Lima Puluh” bertahun-tahun dikucilkan dan dicabut banyak sekali kebebasannya (berniaga, bepergian,  menghadiri pertemuan,  dan lain-lain), hanya lantaran menyampaikan  pendapat yang dianggap  mengusik  kekuasaan  yang dihentikan disentuh oleh perbedaan pendapat dan kritik. (Bagir Manan, 2005: 121)
Peristiwa sebagaimana dicontohkan oleh Bagir Manam tersebut, lantaran sebelum amandemen  UUD  1945,  secara  struktural  kekuasaan  kehakiman  tidak  dapat  lepas  dari
kekuasaan  lembaga  eksekutif.  Dengaan  adanya  Departemen  Kehakiman  dapat  timbul
pandangan bahwa kekuasaan kehakiman tidak sepenuhnya merdeka. Kiranya tidak proposional  apabila  para  hakim  itu  dibina  oleh  satu  unit  organisasi  yang  bernaung  di bawah lembaga administrator ibarat Departemen Kehakiman, meskipun itu hanya menyangkut administrative  dan  finansial.  Paling  tidak  ada  kesan  bahwa  para  hakim  itu  menjadi bawahan eksekutif. Posisi hakim terhadap administrator sanggup dibaca dalam Pasal 11 ayat (1) UU  Nomor  14  Tahun  1970  yang  menyatakan  bahwa  ‘Badan-badan  yang  melakukan peradilan  tersebut  pasal  10  ayat  (1)  organisatoris,  administrative,  dan  finansial  ada  di bawah kekuasaan masing-masing departemen yang bersangkutan’. Para hakim yang berada di bawah Departemen  menurut undang-undang  tegas hanya dalam bidang organisatoris, administrative  dan  financial,  namun  tetap  ada  kekhawatiran  akan  gangguan  kebebasan hakim menjadi  alasan.  Karena  bagaimana  pun karier para hakim akan bergantung  juga kepada departemen. Meskipun secara formal hakim mempunyai kebebasan dalam menangani suatu perkara,  namun  mungkin terjadi bahwa  sebagai pegawai  negeri secara psikologis hakim   tidak   berani   mengambil   sikap   untuk   membuat   keputusan-keputusan    yang bertentangan  dengan  kebijakan  pemerintah  yeng  merupakan  induk  korpsnya. Kekhawatiran  akan terhambatnya  karier atau dimutasikan  ke daerah-daerah  yang kering sanggup saja memengaruhi  hakim dalam menangani suatu perkara, apalagi kalau kasus itu menyangkut kepentingan instansi pemerintah atau oknum pejabat atau keluarganya.
Keinginan  agar pembinaan  badan peradilan  di bawah  satu  atap dengan  Mahkamah Agung,  sudah dimulai pada awal Orde Baru yaitu dikala Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) Jawa   Tengah   menyampaikan    pendapat    agar   badan-badan    peradilan   baik   secara organisatoris maupun secara administrative dan financial diletakkan di bawah Mahkamah Agung sebagai alat perlengkapan negara yang berdiri sendiri, dan sejalan dengan itu Departemen Kehakiman tidak diharapkan lagi.
Namun, kalau tugas-tugas Departemen Kehakiman   selain pelatihan badan-badan peradilan masih dipandang perlu dilakukan oleh sebuah departemen, maka departemen itu jangan berjulukan Departemen Kehakiman melainkan diberi nama lain contohnya Departemen Hukum  dan  Perundang-undangan  atau  nama  lain.  Gagasan  IKAHI  Jawa  Tengah  ini kemudian diambil alih menjadi perilaku Pengurs Puasat IKAHI melalui putusan tanggal 16
Juni 1996 yang dikala itu menerima tunjangan dari Ketua Mahkamah Agung dan Menteri



BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Adapun ciri negara aturan yang demokratis ialah sebagai berikut
1.      Adanya proteksi konstitusional.
2.      Adanya lembaga pengadilan yang bebas dan tidak memihak.
3.      Adanya pemilihan umum yang bebas.
4.      Adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat.
5.      Adanya kebebasan berserikat dan melaksanakan oposisi.
6.      Adanya pendidikan civic.

3.2 Saran

Sebagai Negara aturan sudah sepatutnya aturan itu harus dipatuhi dan di taati semoga terciptalah Negara yang sejahtera, semoga demikian masyarakat yang ada didalam sanggup terlindungi aturan dari hal-hal yang meresahkan dan tidak mengenakan, sebagai Negara aturan Indonesia ialah salah satu Negara yang menjunjung aturan semoga ketentraman di Negara Indonesia senantiasa terjaga dan terpelihara semoga terciptalah kesejahteraan dan ketentraman dalam bermasyarakat.














DAFTAR PUSTAKA


Website :

http://ejournal.unisri.ac.id/index.php/Wacana/article/








0 komentar